“ Nak kemano kau?”
Saudara
tua bertanya dengan ketus.
“Ikut
abang maen”
Adik
pertama memelas.
“Dak
usah, Sano balek!”
Hardik
saudara tua seperempat berteriak.
“Ikutlah
bang,”
Melas
adik pertama, tiga perempat memaksa.
“
Idak!, Balek!!”
Satu
pekikan, selesai.
Adegan diatas terjadi
ketika seorang adik pertama berusia enam tahun ingin ikut bermain dengan
saudara tuanya berusia delapan tahun. Dengan usia yang tidak terlalu jauh,
seharusnya mereka bisa bermain bersama. Karena berdasarkan pandangan psikologi.
Anak pada usia dibawah dua belas tahun memiliki kecendrungan mempunyai teman
bermain maksimal tiga tahun rentang masa usianya. Semakin usianya bertambah,
rentang usia tersebut semakin kecil. Itu
masih sebatas teori. Masih banyak pengaruh lain yang bisa mengingkari teori
tersebut.
“kami (aku) akan menjadi
musuh bagi abang!, musuh yang baik. Bukan musuh yang buruk. Siap bersaing untuk
menjadi yang terbaik, menjadi yang lebih diperhatikan. Kami (aku) akan menjadi
anak yang lebih membanggakan dikeluarga”
Janji seorang adik
pertama pada sebatang pohon jambu air di depan rumah yang ia panjat. -pohon
yang bakal ditebang 15 tahun kemudian-.
Tahun berikutnya adik
pertama mendapatkan seorang adik yang ia tidak tahu bagaimana proses pembuatannya.
-sebelum ia memergoki kedua orang tuanya bercengkrama dengan polos di kamar
pada tahun berikutnya-
Adik pertama menjadi
saudara tua. ia mendapatkan perangkat game
terbaru dari orang tuanya untuk
berhenti mengganggu dan mengerjai adiknya yang sudah berusia enam tahun.
“Bang ikut maen”
Adik mengiba.
Saudara tua diam.
Tatapan adik mengemis.
Saudara tua acuh.
“Bang, maen samo yo”
Adik menggoyang tangan
saudara tua. Game lose.
Adegan selanjutnya penuh
unsur kekerasan. Tidak dianjurkan untuk diceritakan. Menurut psikologi,
tindakan kekerasan merupakan penyakit menular. Apabila diceritakan secara
runtut dan terperinci akan melahirkan tindakan kekerasan baru yang lebih tidak
terkorelasi penyebab dan akibatnya.
Saudara tua pertama
dikirim ke rimba. Saudara tua dipondokkan asrama. Tinggal adik di rumah menjadi
anak yang dibanggakan. -sebelum tahun berikutnya lahir adik terakhir yang
menggeser posisi tersebut-
Adik menjadi saudara tua.
–déjà vu-
Dicky Ingusan
Semarang, 25
mei 2013