Jumat, 06 Juni 2014

Ingin bercerita dengan raja dan ratu di dekat pohon jambu air yang sudah ditebang.

Terbesit kisah yang diungkit untuk dikenang masa depan.
Ada sebuah keluarga manusia dengan gerombolan burung pipit yang sering bertamu, di pohon jambu air depan rumah.
Mereka tak ingin dijamu.
Karena bisa mandiri mencoba membangun keluarga pohon jambu air yang berbahagia.
Keluarga manusia tidak pernah mendekati pohon jambu air, juga tidak pernah mencoba merawat.
Dan alam-lah yang mengasihi pohon jambu air tersebut.
Dengan rezeki hujan, terik matahari yang garang, dan kenyamanan malam.
Pohon jambu air menjadi tempat yang sempurna untuk keluarga burung pipit.
Mereka berbahagia setiap pagi.
Saling berbicara dengan saling menatap.
@PipitElang "Ini pagi yang indah"
@PipitGaruda"Pagi yang datang setelah malam"
@PipitElang"Sungguh hangat melihat mu indah hari ini"
@PipithRajhawali"Kamu juga indah dengan semangat yang membara"
@PipitElang"Pelihara mimpi menjadi elang adalah kuncinya"
@Pi2tSaja"Bukankah kita burung pipit?"
@PipitElang"Tampak luarnya saja, kekuatan dalamnya melebihi elang"
@PipitGaruda"Aku pilih menjadi garuda yang gagah saja"
@PipithRajhawali"Garuda hanya burung utopia yang tak bisa terbang"
@PipitElang"Tidak bisa terbang karena kakinya sudah biasa di ikat, dan aku percaya Garuda itu ada"
@Pi2tSaja"Dimana kamu pernah melihatnya?"
@PipitGaruda"Saat aku menatap danau bening yang indah, aku melihatnya terbang melintasi"
Mereka berbicara memelihara mimpi dengan bercerita dan menyemangati.
--------------------------------------------------------------------------------
Merdu serta anggun mengiringi kepergian gerombolan burung pipit besar.
Ada tiga sarang di pohon jambu air.
Dua sarangnya jadi tangisan cerewet gerombolan burung pipit kecil.
Satu sarang lagi masih berupa sekelompok telur.
Tatkala matahari nya meninggi, lebih cerah, lebih gagah, dan tersenyum mewah.
Dengan kehangatan yang menjerat, awan pun tak berani melakukan pemberontakan.
Saat itulah dua pasang burung pipit besar mendekat. Memberi makan anak-anak yang kelaparan.
Berbicara renyah kepada pasangan yang belum menetaskan telurnya.
@Pi2tSaja"Kesempatan yang indah memiliki butiran telur memukau"
@PipitElang"Juga kesempatan yang baik mendapatkan tanggung jawab tersebut"
@PipitAlam"Aku percaya pada alam yang indah membantu menyelesaikan tanggung jawab"
@PipitGaruda"Sudahkah kamu berbicara dengan alam yang indah"
@PipitAlamiah"Ia punya banyak pengikut yang tidak bisa disepelekan, aku hanyalah salah satunya"
@PipitElang"Milik semesta yang tidak bisa dicintai sepenuhnya"
@PipitGaruda"Semoga telurmu juga menjadi burung pipit yang indah"
@PipitAlam"Aku lebih mengkhawatirkan nasib pohon jambu air yang mewah ini"
@PipithRajhawali"Aku juga, ini masa depan yang hanya bisa diserahkan ke alam"
@PipitElang"Dan keluarga manusia yang bertempat tinggal"
@Pi2tSaja"Aku iri dengan kebahagiaan keluarga manusia yang sunyi"
@PipitGaruda"Manusia dengan berbulu lebat selalu menjadi pemimpin"
@PipitAlamiah"Ia tak pernah berkotek kecuali membuka paruh dengan lebar"
@PipithRajhawali"10 x ukuran garuda, dan tidak bersayap"
@PipitAlam"Juga ada manusia dengan bulu yang sangat panjang dikepalanya"
@PipitElang"Terkadang ditutupinya, juga lebih banyak terurai"
@Pi2tSaja"Ia indah dan berkotek nyaring"
@PipithRajhawali"Sudahlah manusia bukan urusan kita"
@PipitAlamiah"Tapi ia juga bagian semesta yang mengarahkan masa depan"
@PipitAlam"Cukup percaya pada takdirmu"
@PipitElang"Kepastian yang ada di bumi adalah ketidakpastian"
@PipitGaruda"Silahkan berfilsafat, bumi tidak akan mengasihi dengan keraguan"
@PipithRajhawali"Kamu juga percaya hal itu"
@PipitElang"Untuk saat yang harus dipercaya"
-----------------------------------------------------------------------------------------
Pohon jambu air sudah ditebang. Masa lalu adalah kenangan dan sejarah.

@ManusiaTanpaGelar

Mekanik Ingusan

I. BENSIN

Ada yang bertanya padaku,” apa kesalahanku selama ini?”. Aku menjawab, “ kesalahanku adalah hidup didunia ini, dan tidak memanfaatkan kesempatanya dalam hidup”. Aku tidak tahu kalimat yang terlontar spontan itu aku dapat mana, atau pun aku pernah dengar dari siapa. Tapi aku jujur berkata itu pada diriku sendiri. Aku terlalu sering melupakan pintu yang terbuka disebelah pintu tertutup yang terus ku pandangi dan ku sesali. Bahasa yang sering kudengar, tidak pernah “move on” dari situasi. Sehingga tujuanku, bensin hidupku. Tidak pernah terbakar sempurna karena aku sendiri tidak mengetahuinya secara rinci langkah pembakaran dalam yang tepat. Disebabkan aku terpaku pada masalah hidup yang hanya ku ratapi.
Saat ini aku masih meneruskan pendidikan di tingkat universitas. Memasuki tahun keempat, mendekati tahun kelima. Artinya berjarak tiga tahun dari tenggat waktu lulus yang ditetapkan atau aku dikeluarkan secara terpaksa. Aku memang masih ingin belajar tapi aku sendiri tidak menunjukkan perkembangan yang baik dalam pelajaran.
“ IP (indeks prilakumu) kenapa turun lagi nak?”
Dosen waliku bertanya pertanyaan yang sama seperti semester sebelumnya.
“Aku tidak tahu pak (bukan urusanmu pak),”
Jawabku sekenanya. Tapi tak menghentikan dia bertanya.
“Lalu bagaimana dengan tanggung jawab dengan orangtuamu nak?”
Aku hanya diam mendengarkan.(bukan urusanku pak itu tanggung jawab orangtua ku)
“Mulai saat ini kamu harus lebih sering di kampus. Waktumu tidak banyak. Jangan terlalu melankolis lah. Bersikap dewasa. Tidak ada waktu untuk bermain lagi. Sudah saatnya kamu memutuskan masa depan dengan tepat. Saya sebagai seorang pendidik tugasnya mengingatkan. Bakar bensin impian dengan urutan yang benar. Kompresi-kan dengan niat membahagiakan orang tuamu. Untuk menghasilkan langkah ekspansi (usaha) yang maksimal. Saya memperhatikan kamu!”
Kembali aku dicecar dengan ancaman dan terpaksa aku menjawab.
''Baik pak (daripada bermasalah pak)"
"Ya sudah, saya masih ada kesibukan yang lain. Saya harap ketemu denganmu lagi membawa hasil yang lebih baik!"
"Siap pak. Saya pamit dulu, permisi pak”
            Kepergianku disambut dengan hentakan tangan kiri menyuruhku keluar, ditambah isyarat menutup pintu dengan isyarat yang sama. Aku berpikir untuk mengunci pintu itu dari luar. DN akan sangat senang mendengar rontaan bapak itu, seperti rontaan tahanan maling sandal yang dihukum lima tahun penjara. Lebih berat dari 4 tahun 5 bulan koruptor bangunan olahraga yang senilai sandal 50 juta orang. Tragiss. Aku memang menjadi apatis terhadap nilai ku yang berantakan, tapi aku tetap cinta asal bukan negeriku yang berantakan. Dan merasa membantu negeriku menjadi lebih baik dengan menghujat koruptor uang rakyat dibanding menghujat diri sendiri yang tidak mau belajar, hidup mahasiswa tingkat akhir!. ‘^^
Terlepas dari harapan tinggiku terhadap negeri ini, aku juga punya tujuan sederhana mengandung harapan untuk diriku. Aku harus lulus, seberat apapun langkahku meraihnya. Harus!

II. KECEPATAN PENUH

Tik Tik Tik
Itu bukan suara hujan, melainkan suara telepon genggamku berdering. Sengaja kuganti bunyi panggilannya. Biar aku mengingat kembali masa kecilku yang senang memperhatikan tetesan air hujan yang menerpa atap rumahku. Bunyinya menentramkan. Semakin lama aku memperhatikan semakin aku mengerti. Kenapa orang takut saat hujan datang. Karena hujan tibanya keroyokan, kalau sendiri-sendiri sepertinya tidak perlu orang takut menghadapinya.
Pertanyaan datang, kenapa ceritaku melantur saat telepon genggamku berdering. Karena aku lagi tertidur pulas. Arti pulas itu sama dengan keadaan aku tidak akan terjaga walau ada gempa 4.0 SR. (jangan yang tinggilah, ntar malah kiamat dulu sebelum aku bangun J ). Apalagi dengan suara dering telepon seperti suara hujan tersebut yang malah membuatku semakin terlelap lebih dalam dan semakin dalam.
Aku tidak tahu mimpi apa sewaktu hujan terasa begitu deras. Mataku jadi begitu berat untuk menantang cahaya. Masih terperangkap oleh euphoria kegelapan. Mengundang untuk terus bermesraan. Aku kasmaran dalam pesona penasaran. Berhasrat menyambung mimpi yang tersekat. Nyata dan fana. Semakin lama hujan jadi lebih deras. Aku lebih hanyut dalam pusaran istirahat panjang.
----------------------------------------------------------------------------------------------
Sebagai komandan, aku adalah keputusan, perintah, aturan dan keharusan. Ini adalah jalan panjang menembus semesta. Tujuanku menaklukan angkasa. Melintasi batasan yang terbentang. Aku tidak berhenti sebelum mencapai apa yang kuharapkan. Bagiku kebanggaan adalah menyelesaikan tugas dengan baik. Itulah kenapa aku menjadi komandan kapal pelintas batas angkasa. Karena aku terbaik dalam menangani dan mengarahkan dengan tepat kemana arah kapal ini berlayar.
Setengah perjalanan masih diliputi kawasan gelap tak bercahaya. Entah kemana bintang berpendar. Ini adalah kemiskinan angkasa yang terselimuti. Tanpa arah yang jelas,  ku komando tetap lurus kedepan.
“Radar kita rusak komandan’’
“Ada kemungkinan badai kosmik menanti didepan komandan”
“Lebih baik kita menyimpan energy dengan diam terlebih dahulu komandan”
Suara-suara negatif kapal tak kuhirau. aku adalah komandan. Aku adalah perintah. Aku adalah aturan. Aku adalah keputusan. Harus berapa kali kujelaskan agar kalian mengerti.
“TETAP LAJUKAN KAPAL LURUS KEDEPAN DENGAN KECEPATAN PENUH”
Gelegar suara perintahku membahana menenggelamkan suara kru kapal yang entah kenapa bisa setia dengan sikap otoriterku ini.
Kapal melaju mencapai tenaga maksimal yang bisa ia kerahkan. Dengan kecepatan ini satu galaksi bisa terlewati dengan empat kedipan mata. Sehingga lintasan menjadi lebih terang belum tersadari sudah menanti didepanku. Bukan bintang yang berjejer. Melainkan badai kosmik. Sesuai dengan prediksi kru kapal yang kuabaikan. Badai itu menerjang bergelombang laksana tsunami yang menerpa aceh daratan. Siap meluluhlantakan apapun yang didepannya. Inilah kematian yang didambakan untuk tak dikenang. Keputusan buruk komandan penyebab tragedy yang seharusnya bisa dihindarkan.

III. ASSISTENSI

Kali ini aku benar-benar terjaga. Suara dering telepon genggamnya masih bersahutan. Tertekan jempolku menjawab panggilan.
“Lagi dimana?, Ayo Assistensi, Udah ditunggu dari tadi, Buruan yak, Harus satu kelompok bersama lengkap lho”
Aku tak sadar responku seperti apa menjawab serbuan pertanyaan dan ajakan tersebut. Sepertinya tidak sempat aku melontarkan satu katapun sebelum teleponnya terputus dari seberang.

Kepalaku tak gatal, tapi tetap saja reaksi tanganku menggaruk-garuknya. Mencari bekas galian kutu rambut. Bahkan alasan pencarian itu tak kumengerti. Aku bisa saja melihat dengan mata telanjang didepan kaca. Dengan rambut cepak pendek tajam, jangankan kutu rambut yang takkan luput dari pengawasanku. Seekor cicakpun bisa mati jika berniat mendarat dikepalaku.

Aksi garuk-menggaruk ini terasa mengasyikkan. Bukan hanya rambut yang ingin diperhatikan, badan, punggung, kaki dan tangan pun saling bermesraan dengan perasaan saling peduli melalui garukan yang membekas. oiya siap-siap kekampus!. otakku mulai bekerja dan berfungsi. matahari masih seperti biasa menjalankan kewajibannya menerangi malam untuk menjadi siang.

Sesuai dengan perhitungan waktu yang dibuat manusia, jam dinding menunjukkan pukul 9 lewat 17 menit waktu kosanku. bergegas kekamar mandi tanpa membawa handuk, cukup sikat dan pasta gigi. segera membasuh muka juga menggosok gigi dengan empat kali sentuhan praktis, simpel ala mahasiswa kebelet kekampus.

Tidak perlu khawatir tidak mendapatkan teman karena tidak mandi. Itu adalah bentuk solidaritas tanpa batas, karena ketidakpedulian terhadap teman adalah barang haram dikampusku. Bahkan ketika kamu sudah mengerjakan tugas, tanpa tedeng aling-aling harus segera membagi dengan sukarela ke teman-temanmu. Bahkan kepedulianmu terhadap penampilan adalah wujud murtad dari pergaulan kampusku.
  
Setiba di laboratorium, aku mengetuk pintu bukan karena menyimpan dendam dengan pintu. naif sekali karena pintupun bisa membalas sakitnya sekeras aku memukulnya. 
"Tugasnya mana dek?"
Assisten Lab bertanya padaku sebelum sempat aku duduk dikursi yang sudah kosong menggoda untuk aku singgahi. aku ingin duduk karena temanku juga duduk begitu juga assistennya. aku tidak mau terlihat lebih tinggi dari assisten. olah sebab itu aku berusaha untuk duduk terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan assisten.
"Tugas apa ya mas?
Pertanyaanku polos seperti kaos kaki grosir dipasar johar. sambutannya beragam, teman-teman satu kelompok menatapku seperti artis Indonesia yang lagi siap-siap manggung. Dengan intensitas yang dibumbui sinis pastinya. Bahkan temanku yang duduk persis disebelahku, Golith, berbaik hati memukul kepalaku bagian belakang dengan tangan kirinya. tidak lembut dan cukup membuatku seperti mengangguk. 
"Tugas kelompok kita jing, kan sudah aku kirim ke e-mailmu untuk tak suruh print!"
Golith tidak berbisik padaku, bahkan assistenpun mendengarnya.
"Modemku paketnya habis lith, aku belum download datanya"
Pembelaanku dengan berbohong tetap tak bisa diterima golith.
"aku akan mencoret namamu dalam tim"
kali ini dia berbisik padaku.

Solidaritas yang kuagungkan mendadak menghilang tanpa jejak. hanya fatamorgana yang mengawan dalam harapan fana tanpa cela. karena memang manusia adalah makhluk yang membatasi dirinya. termasuk aku.
   __________________________________________________________________________
 Bersambung....