I. BENSIN
Ada
yang bertanya padaku,” apa kesalahanku selama ini?”. Aku menjawab, “
kesalahanku adalah hidup didunia ini, dan tidak memanfaatkan kesempatanya dalam
hidup”. Aku tidak tahu kalimat yang terlontar spontan itu aku dapat mana,
atau pun aku pernah dengar dari siapa. Tapi aku jujur berkata itu pada diriku
sendiri. Aku terlalu sering melupakan pintu yang terbuka disebelah pintu
tertutup yang terus ku pandangi dan ku sesali. Bahasa yang sering kudengar, tidak
pernah “move on” dari situasi.
Sehingga tujuanku, bensin hidupku. Tidak pernah terbakar sempurna karena aku sendiri
tidak mengetahuinya secara rinci langkah pembakaran dalam yang tepat. Disebabkan aku terpaku pada masalah hidup yang
hanya ku ratapi.
Saat
ini aku masih meneruskan pendidikan di tingkat universitas. Memasuki tahun
keempat, mendekati tahun kelima. Artinya berjarak tiga tahun dari tenggat waktu
lulus yang ditetapkan atau aku dikeluarkan secara terpaksa. Aku memang masih ingin belajar tapi aku sendiri tidak menunjukkan perkembangan yang baik dalam
pelajaran.
“
IP (indeks prilakumu) kenapa turun lagi nak?”
Dosen
waliku bertanya pertanyaan yang sama seperti semester sebelumnya.
“Aku
tidak tahu pak (bukan urusanmu pak),”
Jawabku
sekenanya. Tapi tak menghentikan dia bertanya.
“Lalu
bagaimana dengan tanggung jawab dengan orangtuamu nak?”
Aku
hanya diam mendengarkan.(bukan urusanku pak itu tanggung jawab orangtua ku)
“Mulai
saat ini kamu harus lebih sering di kampus. Waktumu tidak banyak. Jangan terlalu melankolis lah. Bersikap dewasa. Tidak ada waktu untuk bermain lagi. Sudah saatnya kamu memutuskan masa depan dengan tepat. Saya sebagai seorang pendidik tugasnya mengingatkan. Bakar bensin impian dengan urutan yang benar. Kompresi-kan dengan niat membahagiakan orang tuamu. Untuk menghasilkan langkah ekspansi (usaha) yang maksimal. Saya memperhatikan kamu!”
Kembali
aku dicecar dengan ancaman dan terpaksa aku menjawab.
''Baik
pak (daripada bermasalah pak)"
"Ya sudah, saya masih ada kesibukan yang lain. Saya harap ketemu denganmu lagi membawa hasil yang lebih baik!"
"Siap pak. Saya pamit dulu, permisi pak”
Kepergianku
disambut dengan hentakan tangan kiri menyuruhku keluar, ditambah isyarat menutup
pintu dengan isyarat yang sama. Aku berpikir untuk mengunci pintu itu dari luar. DN akan sangat senang mendengar rontaan bapak itu, seperti rontaan tahanan
maling sandal yang dihukum lima tahun penjara. Lebih berat dari 4 tahun
5 bulan koruptor bangunan olahraga yang senilai sandal 50 juta orang. Tragiss.
Aku memang menjadi apatis terhadap nilai ku yang berantakan, tapi aku tetap
cinta asal bukan negeriku yang berantakan. Dan merasa
membantu negeriku menjadi lebih baik dengan menghujat koruptor uang rakyat
dibanding menghujat diri sendiri yang tidak mau belajar, hidup mahasiswa
tingkat akhir!. ‘^^
Terlepas dari harapan tinggiku
terhadap negeri ini, aku juga punya tujuan sederhana mengandung harapan
untuk diriku. Aku harus lulus, seberat apapun langkahku meraihnya. Harus!
II. KECEPATAN PENUH
Tik
Tik Tik
Itu
bukan suara hujan, melainkan suara telepon genggamku berdering. Sengaja kuganti
bunyi panggilannya. Biar aku mengingat kembali masa kecilku yang senang
memperhatikan tetesan air hujan yang menerpa atap rumahku. Bunyinya
menentramkan. Semakin lama aku memperhatikan semakin aku mengerti. Kenapa orang
takut saat hujan datang. Karena hujan tibanya keroyokan, kalau sendiri-sendiri
sepertinya tidak perlu orang takut menghadapinya.
Pertanyaan
datang, kenapa ceritaku melantur saat telepon genggamku berdering. Karena aku
lagi tertidur pulas. Arti pulas itu sama dengan keadaan aku tidak akan terjaga
walau ada gempa 4.0 SR. (jangan yang tinggilah, ntar malah kiamat dulu sebelum
aku bangun J
). Apalagi dengan suara dering telepon seperti suara hujan tersebut yang malah
membuatku semakin terlelap lebih dalam dan semakin dalam.
Aku
tidak tahu mimpi apa sewaktu hujan terasa
begitu deras. Mataku jadi begitu berat untuk menantang cahaya. Masih
terperangkap oleh euphoria kegelapan. Mengundang untuk terus bermesraan. Aku
kasmaran dalam pesona penasaran. Berhasrat menyambung mimpi yang tersekat.
Nyata dan fana. Semakin lama hujan jadi lebih deras. Aku lebih hanyut dalam
pusaran istirahat panjang.
----------------------------------------------------------------------------------------------
Sebagai
komandan, aku adalah keputusan, perintah, aturan dan keharusan. Ini adalah
jalan panjang menembus semesta. Tujuanku menaklukan angkasa. Melintasi batasan
yang terbentang. Aku tidak berhenti sebelum mencapai apa yang kuharapkan.
Bagiku kebanggaan adalah menyelesaikan tugas dengan baik. Itulah kenapa aku
menjadi komandan kapal pelintas batas angkasa. Karena aku terbaik dalam
menangani dan mengarahkan dengan tepat kemana arah kapal ini berlayar.
Setengah
perjalanan masih diliputi kawasan gelap tak bercahaya. Entah kemana bintang
berpendar. Ini adalah kemiskinan angkasa yang terselimuti. Tanpa arah yang
jelas, ku komando tetap lurus kedepan.
“Radar
kita rusak komandan’’
“Ada
kemungkinan badai kosmik menanti didepan komandan”
“Lebih
baik kita menyimpan energy dengan diam terlebih dahulu komandan”
Suara-suara
negatif kapal tak kuhirau. aku adalah komandan. Aku adalah perintah. Aku adalah
aturan. Aku adalah keputusan. Harus berapa kali kujelaskan agar kalian
mengerti.
“TETAP
LAJUKAN KAPAL LURUS KEDEPAN DENGAN KECEPATAN PENUH”
Gelegar
suara perintahku membahana menenggelamkan suara kru kapal yang entah kenapa
bisa setia dengan sikap otoriterku ini.
Kapal melaju mencapai tenaga
maksimal yang bisa ia kerahkan. Dengan kecepatan ini satu galaksi bisa
terlewati dengan empat kedipan mata. Sehingga lintasan menjadi lebih terang belum
tersadari sudah menanti didepanku. Bukan bintang yang berjejer. Melainkan badai
kosmik. Sesuai dengan prediksi kru kapal yang kuabaikan. Badai itu menerjang
bergelombang laksana tsunami yang menerpa aceh daratan. Siap meluluhlantakan
apapun yang didepannya. Inilah kematian yang didambakan untuk tak dikenang.
Keputusan buruk komandan penyebab tragedy yang seharusnya bisa dihindarkan.
III. ASSISTENSI
Kali
ini aku benar-benar terjaga. Suara dering telepon genggamnya masih bersahutan.
Tertekan jempolku menjawab panggilan.
“Lagi
dimana?, Ayo Assistensi, Udah ditunggu dari tadi, Buruan yak, Harus satu
kelompok bersama lengkap lho”
Aku
tak sadar responku seperti apa menjawab serbuan pertanyaan dan ajakan tersebut.
Sepertinya tidak sempat aku melontarkan satu katapun sebelum teleponnya
terputus dari seberang.
Kepalaku
tak gatal, tapi tetap saja reaksi tanganku menggaruk-garuknya. Mencari bekas
galian kutu rambut. Bahkan alasan pencarian itu tak kumengerti. Aku bisa saja
melihat dengan mata telanjang didepan kaca. Dengan rambut cepak pendek tajam,
jangankan kutu rambut yang takkan luput dari pengawasanku. Seekor cicakpun bisa
mati jika berniat mendarat dikepalaku.
Aksi garuk-menggaruk ini terasa mengasyikkan. Bukan hanya rambut yang ingin diperhatikan, badan, punggung, kaki dan tangan pun saling bermesraan dengan perasaan saling peduli melalui garukan yang membekas. oiya siap-siap kekampus!. otakku mulai bekerja dan berfungsi. matahari masih seperti biasa menjalankan kewajibannya menerangi malam untuk menjadi siang.
Sesuai dengan perhitungan waktu yang dibuat manusia, jam dinding menunjukkan pukul 9 lewat 17 menit waktu kosanku. bergegas kekamar mandi tanpa membawa handuk, cukup sikat dan pasta gigi. segera membasuh muka juga menggosok gigi dengan empat kali sentuhan praktis, simpel ala mahasiswa kebelet kekampus.
Tidak perlu khawatir tidak mendapatkan teman karena tidak mandi. Itu adalah bentuk solidaritas tanpa batas, karena ketidakpedulian terhadap teman adalah barang haram dikampusku. Bahkan ketika kamu sudah mengerjakan tugas, tanpa tedeng aling-aling harus segera membagi dengan sukarela ke teman-temanmu. Bahkan kepedulianmu terhadap penampilan adalah wujud murtad dari pergaulan kampusku.
Setiba di laboratorium, aku mengetuk pintu bukan karena menyimpan dendam dengan pintu. naif sekali karena pintupun bisa membalas sakitnya sekeras aku memukulnya.
"Tugasnya mana dek?"
Assisten Lab bertanya padaku sebelum sempat aku duduk dikursi yang sudah kosong menggoda untuk aku singgahi. aku ingin duduk karena temanku juga duduk begitu juga assistennya. aku tidak mau terlihat lebih tinggi dari assisten. olah sebab itu aku berusaha untuk duduk terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan assisten.
"Tugas apa ya mas?
Pertanyaanku polos seperti kaos kaki grosir dipasar johar. sambutannya beragam, teman-teman satu kelompok menatapku seperti artis Indonesia yang lagi siap-siap manggung. Dengan intensitas yang dibumbui sinis pastinya. Bahkan temanku yang duduk persis disebelahku, Golith, berbaik hati memukul kepalaku bagian belakang dengan tangan kirinya. tidak lembut dan cukup membuatku seperti mengangguk.
"Tugas kelompok kita jing, kan sudah aku kirim ke e-mailmu untuk tak suruh print!"
Golith tidak berbisik padaku, bahkan assistenpun mendengarnya.
"Modemku paketnya habis lith, aku belum download datanya"
Pembelaanku dengan berbohong tetap tak bisa diterima golith.
"aku akan mencoret namamu dalam tim"
kali ini dia berbisik padaku.
Solidaritas yang kuagungkan mendadak menghilang tanpa jejak. hanya fatamorgana yang mengawan dalam harapan fana tanpa cela. karena memang manusia adalah makhluk yang membatasi dirinya. termasuk aku.
__________________________________________________________________________
Bersambung....
Tidak ada komentar:
Posting Komentar